Hai


Selamat Datang - Welcome - Willkommen - Benvenuto - Bienvenue - Bienvenido

Buku Tamu

Pop up my Cbox

Minggu, 30 Mei 2010

Pending, Buaya; Love Him or Leave Him?

Sedih nih.... gara-garanya novel saya 'The Ordinary Man" itu tiba-tiba di pending masuk pasar, dengan alasan yang nggak bisa dijelaskan dengan baik, selain 'pending sebentar lagi, ada masalah intern'. Hrgh... mau apa lagi?? Hiks-hiks...
Cepetan kek pendingnyaaaaaaaaa.... hwaaa-haaaa.... <=== itu nangis, bukan ketawa.
Belakangan saya susaaaah... buanget untuk posting, bukan sekedar karena sibuk, tapi juga mendadak bingung mau post apaan. Saya nggak terlalu suka post yang nggak ada maknanya, selain kalau lagi kepepet seperti sekarang ini (moga-moga jangan sering kepepetnya).

Oh iya, adik perempuan saya, setelah bertahun-tahun putus dari pacar pertamanya yang bernama sama dengan nama ayah kami (hihihi... saya sih nggak mood pacaran dengan cowok yang namanya sama dengan nama ayah, jadi kebayang mulu 'kan pas berduaan!), sekarang dapat pacar lagi yang guanteng. Persis seperti salah satu aktor beken di Filipina, dan memang doi tinggal di Filipina. Namun teman-teman, namanya juga laki-laki ya... yang nggak ganteng aja buaya, apalagi yang ganteng bak aktor?? Ya wajarlah kalau tingkahnya bikin 'heghhh!!'

Buaya bener tuh cowok, saya sih anteng-anteng saja melihat tingkah nakal calon adik ipar yang kreatif mengakal-akali adik saya hihihi.... dan cengar-cengir mendengar celoteh adik saya yang lagi-lagi dikerjai si buaya ganteng itu. Apa mau dikata? Saya cuma bisa memberitahu kalau para buaya itu jenis cowok yang pintar, kreatif, imajinatif hehehe.... Jadi saya minta jangan ambil hati dengan kenakalannya. Cuma ada dua pilihan:
  1. Kalau kamu tipe cewek yang perfeksionis, ingin semua berjalan dengan sempurna, baik, sesuai dengan peraturan dan undang-undang, menjunjung tinggi kesetiaan. Haduh.... daripada kamu struk mending leave him!
  2. Tapi kalau kamu tipe cewek yang 'whatever lah dengan what you do', selama dia nggak minta putus ya biarin... kalau kamu tipe macam itu, go on! Lanjutkan saja... kamu pasti nggak akan ambil pusing dengan 'keonaran' yang dia buat, kamu nggak akan sakit hati lagi-lagi dikerjai si buaya, justru adanya kamu malah ketawa diam-diam karena sebenarnya tingkah dan akal-akalan mereka itu kekanak-kanakan dan kocak. (Kekanak-kanakan dan kocak?? Frau, you must be joking!!! Sakeeeeet ni hati!) Kalau dia ketahuan bikin onar, marahlah (pura-pura), tapi sebenarnya kamu nggak ambil pusing.
Kalau saya pribadi lebih memilih menyingkir jauh-jauh dari para pria yang saya masukkan ke kategori buaya, yang nggak buaya saja kadang-kadang bertingkah bak buaya, apalagi yang jelas-jelas masuk kategori buaya ya? Saya pikir semua perempuan suatu hari nanti akan merasakan dihianati oleh suami paling tidak satu kali seumur hidupnya, fardhu 'ain hukumnya, tidak ada yang bisa menolak dari kewajiban itu (huh? Dihianati kok kewajiban??). Bagi saya cukuplah jatah yang sekali seumur hidup dan wajib itu (kenapa jadi mirip pergi haji ya?) , saya nggak mau jadi yang tiap minggu merasakan disakiti.
Bagi saya berhubungan dengan buaya itu kind of wasting time, lagi pula saya selalu menuju relationship yang serius, hmm... bukan berarti berhubungan dengan buaya tidak bisa dikatakan serius. Buaya bisa saja serius dengan kamu, tapi... ya jangan heran kalau dia punya hasrat berkobar untuk coba-coba menaklukan cewek-cewek cantik dan menarik di matanya.

Buaya yang serius biasanya hunting-hunting, buru sana-sini cuma untuk uji pesona mereka saja, bersenang-senang atau jajal sensasi rasa baru, kalau ketahuan mereka langsung sujud di kaki kamu minta ampun, tapi nggak aneh kalau minggu depan dilakukan lagi acara hunting itu.

Ada yang bertanya pada saya apakah seorang buaya darat suatu hari nanti akan insaf?
Meskipun beberapa hari lalu di Yahoo saya membaca artikel tentang beberapa buaya Hollywood yang akhirnya bertekuk lutut pada satu wanita dan mereka punya anak (atau banyak anak). Tapi I'm not sure, sebelum si dia insaf bisa jadi kamu kena serangan jantung duluan, atau sakit jiwa. Eh... jangan pikir dengan saya menyebut sakit jiwa itu berarti gila ya... Sakit jiwa 'kan macam-macam, kehilangan kepercayaan terhadap semua laki-laki, curigaan, rendah diri yang parah, atau malah takut menjalin hubungan. Kalau kamu perempuan tipe 1 di atas, itu bisa saja terjadi.
Nah kalau saya.... diakalin buaya sekali saja sudah kapok dan mengutuk-ngutuki... Malahan, kalau nggak malu saya mau bikin komunitas "Bunuh Buaya Darat" atau "Gerakan Perempuan Menyantet Cewek Perebut Pacar/Suami Orang".
Big NO deh untuk para Bitch dan Buaya!

Kalau kamu?

Minggu, 23 Mei 2010

Tips; Melepaskan Diri dari Dia yang Sudah Lari

ku tahu kamu pasti rasa
apa yang ku rasa
ku tahu cepat atau lambat
kamu kan mengerti

hati bila dipaksakan
pasti takkan baik
pantasnya kamu mencintai
yang juga cintai dirimu cuma kamu

reff:
lepaskanlah ikatanmu dengan aku
biar kamu senang
bila berat melupakan aku
pelan-pelan saja

tak ada niat menyakiti
inilah hatiku
pantasnya kamu mencintai
yang juga cintai dirimu
cuma kamu

Hai teman, kamu pernah merasa stuck sama seseorang, nggak bisa melupakan dia, dan yakin benar bahwa dia adalah jodoh kamu, meskipun pada faktanya dia sudah dimiliki orang lain. Salah satu orang dekat saya sedang mengalami problema ini, dan akhirnya teman dari orang dekat saya itu minta saya menulis artikel ini; tentang bagaimana melepaskan diri dari jeratan orang yang nggak bisa kita miliki lagi.

Sejak si teman itu minta saya menulis ini, saya terus menunda-nunda tulisan ini, saya mikir... merenung, mencari ide, karena sebenarnya saya bukan orang yang berpengalaman dalam bidang ini, hehe... Tapi setelah sekian lama bertapa, saya pikir nggak ada gunanya saya tunda terus, jadi saya akan tulis seadanya yang saya tahu.

Kalau menurut saya pribadi, untuk tahu dia jodoh kita atau bukan, kayaknya banyak kode-kode alam yang bisa kita lihat. Salah satunya waktu dan kondisi dia. Jadi begini maksud saya... kalau kamu mencintai seorang perempuan, dari perempuan itu masih bau kencur sampai sekarang sudah besar, dan belum juga ada tanda-tanda bahwa dia bakalan mau kawin sama kamu. Itu adalah salah satu kode alam bahwa kalian nggak jodoh.

Kode alam ke dua; apalagi kalau dia kawin sama orang lain! Aduh.... cuma bikin penyakit kalau kamu bertahan, berharap sambil menunggu suami si dia ketabrak truk. Itu mungkin saja terjadi, tapi kapan? Bisa jadi pasangannya inceran kamu itu berumur panjang, bisa jadi juga hubungan mereka ever after, simpelnya; bisa jadi si dia nggak akan jadi janda. So, buat apa wasting time?

Saya sudah baca tips di internet tentang bagaimana cara melupakan mantan, dan semuanya bakal nggak mempan untuk diterapkan pada si orang terdekat saya itu (dan mungkin juga kamu?). Di antara tips-tips itu:

  1. Cari kesibukan. Gue udah sibuk banget, tapi di pelupuk mata si dia terus saja terbayang. Kurang sibuk apa gue? Bangun subuh, pulang kerja tengah malam!
  2. Mendekatkan diri ke keluarga. Bagaimana caranya sih? Ketahuan juga gue merantau di negeri seberang (Malin Kundang kaleee), telepon bisa, smsan bisa, Facebookan emak gue nggak bisa, lha kalau ketemuan tiap hari? Emang gue Doraemon?? "Pintu kemana saja!!"
  3. Simpan semua barang kenangan dalam kotak. Bukan cuma dimasukkin ke kotak, udah gue masukkin gudang, gue kunci dan gue telan itu kunci gudang! Tapi kenangan di hati dan dipikiran 'kan terus ada. Kata lagu dangdut; "Kenangan Tak kan hilang... terkenang selamanya. Kenangan tak kan lekang, terpaut dalam jiwa..."
  4. Saatnya berolahraga. Rasa-rasanya ini tips paling bodoh.... nggak usah lagi patah hati, pasti gue lakukan olahraga tiap hari, dalam suka maupun duka, lantas apa hubungannya melakukan olahraga dengan melupakan mantan?
  5. Bersyukur, berusaha, dan berdoa. Bagaimana maksudnya sih mbak?..... Bersyukur? Sudah tuh... syukur gue lebih cakep dari suaminya si dia. Berusaha; berusaha merebut dia gitu? Berdoa; berdoa supaya mereka cerai ya?? Nggak mutu nih tipsnya!
Tuh 'kan... di-smash semua tips-tips itu? Tapi tenang, saya masih ada satu tips lagi; CARI PENGGANTI. Pasti mau buru-buru bilang; "Dia tak tergantikan!"
Jadi manusia itu jangan sombong ya... (sombong itu pakaian Tuhan), mana ada manusia tak tergantikan? Apanya yang tidak bisa diganti?

Kecantikannya? Secantik apa sih dia? Dan kalau ternyata kamu mencintai dia sekedar karena kecantikannya, saya yakin cinta itu nggak akan abadi dan bisa digantikan dengan sosok cantik yang lain.

Kebaikannya? Begini ya mas.... perempuan itu sebenarnya 'mewarisi' sifat lembutnya Tuhan, walau bukan Maha Lembut ya... jadi pada dasarnya perempuan manapun punya sifat baik, apalagi terhadap orang-orang yang dia sayangi. Kalau kamu jadi sama inceran kamu itu, dia tentu cinta dan baik sama kamu, sekalipun kamu jadinya dengan perempuan lain, tentulah perempuan itu akan baik dan lembut sama kamu. Jadi, kalau kamu sudah mendapatkan hati seorang perempuan, maka andai dia perempuan paling canggih di dunia ini sekalipun akan bersifat lembut dan baik sama kamu. Iya toh? Okelah tiap perempuan punya kadar baik dan kelembutan yang berbeda-beda, silakan cari yang kadarnya sesuai selera kamu itu, jangan bilang nggak ada! Pasti ada.

Kecerdasannya? Ayolah.... masih ada banyak perempuan cerdas di era sekarang. Itu bukan alasan yang cukup kuat untuk kamu mengharapkan istri/pacar orang.

Kesalihannya? Begini mas... perempuan salihah tidak akan selingkuh dari suaminya, jadi sebaiknya kamu lupakan dia dan kejar yang lain. Nah kalau dia belum menikah dan masih dalam proses pacaran, perempuan salihah saya pikir menyimpan kesetiaan sejak masih pacaran. Jangan bilang si dia itu perempuan salihah kalau kamu godain dan dia masih tergoda, kalau itu yang terjadi saya tetap akan mengusulkan kamu cari perempuan lain untuk dinikahi, daripada suatu hari nanti si salihah itu selingkuh dari kamu.

Kombinasi dari semua itu? Jadi.... si mantan kamu itu cantik-cerdas-baik dan lembut-juga salihah? Makanya kamu sulit melupakan dia dan tetap mengupayakan dia kembali?
Saya paham deh kalau begitu... Tapi coba pikir begini; kalau kamu pernah memiliki si dia; seorang perempuan cantik yang cerdas dan salih tapi dia lepas, itu berarti kamu pernah melakukan kesalahan 'kan? Sehingga si cerdas itu lari? Kalau kamu sudah habiskan bertahun-tahun untuk membujuk dia kembali dan nggak berhasil... well... relakanlah! Ambil pelajaran, berjanjilah untuk tidak mengulangi kesalahan itu lagi pada pasangan kamu selanjutnya.

Tenang saja, perempuan cantik-cerdas-baik dan lembut-juga salihah pasti masih ada lagi di dunia ini selain dia. Jadi... Happy haunting-lah!
Jangan pernah bilang sama saya perempuan macam itu nggak ada lagi, dia ada, mas.... cuma kamunya yang terlalu rewel dan menutup mata juga hati, kamunya saja yang terlalu keras kepala. Coba deh buka diri.. cari si dia yang punya karakteristik macam itu, setelah ketemu yang macam itu lalu besarkan jiwa untuk menerima bahwa perempuan model itu ternyata ada duanya, pacari dia. Mungkin awalnya kamu cuma sekedar suka, tapi kalau kamu serius pasti perasaan di hati kamu bisa menguat. Setia dan fokuslah sama dia, sambil menjaga diri untuk tidak mengulangi kesalahan yang dulu. Pasti berhasil!

Terkahir; berusahalah dengan baik, tapi jangan memaksakan buru-buru menikah kalau cuma untuk menyaingi si mantan. Well... pelan-pelan saja....


Rabu, 19 Mei 2010

Tak Punya Sahabat? (Curhat Mode On)

Angel

Meskipun saya suka menulis dan nyuruh-nyuruh orang untuk belajar memahami yang terjadi di dunia dengan sudut yang lain dari vision yang kita miliki, tapi saya bukan orang yang benar-benar 'sehat' secara psikologis sebenarnya. Meski saya banyak dimintai nasihat dan dijadikan tempat curhat, tapi saya belum sepenuhnya 'waras'. Hehe.... tak ada yang tahu ya?

Salah satu yang nggak beres dari diri saya adalah masalah pergaulan. Hmmh... bukan saya anti sosial ya.. Di setiap level kehidupan saya selalu dikelilingi banyak orang, entah bagaimana bisa begitu, mungkin itu perpaduan dari tanggal lahir dan nama saya. Soalnya kalau saya iseng ikut kuis-kuis di internet yang membaca dari tanggal lahir dan nama pasti resultnya; banyak orang di sekeliling kamu, kamu disukai orang banyak, dan hal-hal macam itu.

Saya makhluk sosial, baik di dunia maya (kecuali chatting, deeeh... males banget) maupun nyata. Saya suka bertemu dengan kenalan saya di komunitas bisnis, saya suka hang out bareng teman kerja, atau di komunitas dan grup tertentu di mana saya bergabung di dalamnya. Begitu ramainya kehidupan saya selintas lalu, padahal sebenarnya saya TIDAK PUNYA SAHABAT.

Tidak ada sahabat, itu dengan sangat sengaja saya pilih, dengan sesadar-sadarnya. Kenapa saya lebih memilih hidup berteman namun tidak bersahabat bukan cerita menyenangkan untuk dikenang, tapi saya coba tulis di sini semoga ada pelajaran yang bisa dipetik.

Semasa SMP saya punya dua orang sahabat, sebut saja namanya Rosa dan Ida. Rosa cantik bukan kepalang, persis mawar beludru yang mewah. Ida juga cantik, rendah hati dan hatinya begitu lembut sampai-sampai dia cenderung terlihat cengeng. Kami berbagi apapun mulai dari hal besar hingga hal paling pribadi yang tak akan bisa kita bagi pada siapapun lagi. Sampai saya pernah berucap mereka adalah belahan jiwa saya.


Semua yang paling manis itu berubah jadi paling pahit, ketika bertahun-tahun kemudian akhirnya Rosa memacari pacar saya. Entah berapa lama dua orang terdekat saya itu berhianat, ketika akhirnya pacar saya memutuskan memberitahu mengenai orientasi hatinya yang menyimpang ke tetangga, Rosa menangis di depan saya mohon ampun. Apa mau dikata? Saya punya andil dalam penghianatan mereka,' kan saya yang minta pacar saya untuk akrab juga dengan para sahabat saya, saya juga nyuruh pacar saya nginap di rumah sakit sewaktu Rosa sakit parah, saya selalu minta Rosa menengahi kalau kami berantem. Intinya saya yang mendekatkan mereka, kalau lantas tumbuh rasa cinta di hati mereka, masak saya mau egois menyalahkan mereka berdua saja?

Saya memaafkan, di mulut, namun sejujurnya, saya adalah tipe orang yang memaafkan apapun kecuali penghianatan. Saya nggak kuat melihat kebersamaan sahabat saya dengan pacar saya, saya pergi. Sejak saat itu saya tidak punya sahabat. Hmmm... saya punya teman dekat sih di SMA namanya Rhenna, tapi tidak sekuat jalinan batin saya dengan Rosa dan Ida. Kedekatan saya dengan Rhenna tidak sampai pada tahap saya mau mengorbankan apapun seperti yang saya berikan pada Rosa dan Ida.

Begitu kondisi saya, sampai bertahun-tahun kemudian seorang perempuan menggugah hati saya. Dia kecil, mungil, cerewet setengah mati dan PD ampun-ampunan. Namanya... Kita sebut saja dia Kate. Saya bertemu Kate di kampus sebagai sesama mahasiswa baru, saya tersentuh dengan kecerewetan dan keterbukaannya, dia berasal dari salah satu kota di Papua. Selain Kate, di Jurusan teknik Sipil angkatan 2003 cuma ada saya, dan dua perempuan lagi, sebut saja Vie dan yang satu lagi... haduh... -susah banget sih cari nama- sebut saja Lala.

Saya kasihan sama Kate yang mengeluh kangen pada keluarga dan pacarnya, saya melihat ekspresi wajah dan juga ke dalam matanya. Kalau nggak malu, Kate pasti sebenarnya pingin merengek dan nangis, dalam hati saya iba... ya ampun... ini baru hari pertama kuliah setelah Masa Orientasi berlalu. Saat itu juga saya bertekad untuk jadi pengisi hari Kate, biar kate nggak kesepian, biar dia kuat dan nggak merana begitu. Biar tak muncul lagi ekspresi yang saya lihat begitu mengenaskan. Saya juga berpikir tak akan ada tragedi perebutan pacar lagi di sini, toh saya nggak punya pacar.

Dengan cepat kami berempat jadi begitu akrab, tak terpisahkan, jadi F4 di Jurusan itu. Sama-sama tertawa keras, sama-sama ganjen, sama-sama suka usilin teman-teman cowok, pokoknya seru. SERUUUUU banget! Saya pikir itu masa-masa paling indah di hidup saya. Saya nggak hiperbolis lho.... Kami senang.
Kate dengan pacarnya yang jauh di kampung halaman
Vie punya pacar yang kuliah di kampus lain yang nggak jauh dari kampus kami
Lala kemudianmemacari senior di kampus kami tapi di jurusan yang berbeda
Aku... aku disibukkan dengan mantan pacar yang merengek minta balik, dan seorang pria tampan yang sempurna yang belum bisa saya jatuhi cinta sepenuhnya. Complicated saat itu urusan romantisme saya. Belum lagi para cowok di fakultas yang heboh meramaikan hari dan hati saya juga.

Semuanya mulai berantakan ketika Lala yang lugu melakukan kesalahan seperti yang saya lakukan dulu terhadap Rosa dan pacar -mantan pacar- saya; mengakrabkan pacar pada sahabat. Well... kita sebut saja Dudi untuk nama pacar Lala. Dudi bergabung bersama kami, tiap hari... betul-betul tiap hari, berjam-jam. Kelainan mulai terjadi, cara Dudi menatap saya, cara Dudi berkomentar, caranya memperhatikan.
Kelainan itu berlanjut hingga cara Dudi mengirimi sms-sms dan ucapannya saat menelepon saya. Kate menyadari perubahan itu, Vie juga. Setelah Dudi makin kelewatan, akhirnya aku, Kate, dan Vie memutuskan memberi tahu Lala bahwa Dudi adalah pecundang yang sedang mencoba merayu aku. Sayangnya kami bertiga juga menyadari Lala adalah tipikal cewe keras kepala yang saat itu masih sulit mendengar masukan dari orang, dan sangat percaya bahwa pacarnya adalah tipe setia dan tulus, jadi kami harus mempersiapkan banyak bukti. Kate dan Vie meminta aku menyimpan semua sms rayuan Dudi.

Sms rayuan Dudi memang kuat membuktikan bagaimana perasaan Dudi pada saya, kata-kata kangen, pujian, puisi, dan bahkan dia memanggil saya dengan sebutan 'tuan puteri'. Kate yang temperamen makin hari semakin tidak bisa menyembunyian kebenciannya pada Dudi yang sudah menghianati Lala. Lala yang belum ngerti kondisi cuma paham Kate makin hari makin membenci pacarnya dan tak habis pikir akan hal itu. Puncaknya, suatu siang di kosan Kate, Kate dan Lala sempat bersitegang dan adu mulut. Aku dan Vie menengahi dan membujuk agar Kate sabar.

Proyek pembuktian kebejatan Dudi berakhir ketika teman kami, sebut saja Wino yang dulu mengenalkan Dudi pada Lala mencium gerakan proyek rahasia kami ini. Suatu hari Wino bicara dari hati ke hati, meminta saya menghentikan proyek kami itu, karena kalau terjadi keributan antara Lala dan Dudi, pasti dirinya yang pertama kali merasa bersalah. Well... saya pernah bilang 'kan kalau saya ini mudah iba pada orang? Sialnya siang itu saya iba pada Wino. Dan akhirnya membujuk Kate dan Vie untuk menyudahi ini semua, apalagi kemudian tak lama berselang Dudi dan Lala putus karena tidak direstui keluarga Lala. Simcard penuh bukti rayuan Dudi saya singkirkan dari ponsel.

Sialnya tak lama kemudian ada orang yang memberi tahu Lala kalau dulu Dudi pernah 'nembak' saya semasa masih pacaran dengan Lala. Lala bertanya dengan ekspresi tegang dan menuntut kejujuran saya. Awalnya saya tutupi kebejatan mantan pacarnya itu dengan pertimbangan buat apa membuat luka? Toh mereka sudah putus. Tapi Lala nggak percaya dan mulai emosional. Saya mengakuinya, Lala kemudian meminta Dudi datang ke kampus.

Itu hari terburuk dalam sejarah hidup saya yang tak akan pernah bisa saya lupakan (lebih buruk dari hari di mana saya nyaris diperkosa orang). Yang tak akan pernah bisa saya hapus dari ingatan. Yang rasa sakitnya tak pernah berhasil saya hilangkan. Sungguh saya tak mau terus sakit akibat kenangan hari itu, saya coba memaafkan dan biarkan... namun nyatanya rasa sakitnya begitu dalam.

Dudi menyangkal semua tuduhan, justru dengan kemampuan olah kata yang dimiliki Dudi yang selalu diacungi jempol oleh siapapun yang mengenalnya, dipadu dengan kepiawaian aktingnya yang terasah karena dia bergabung bertahun-tahun di teater kampus kami, Dudi memutarbalik semua yang terjadi. Saya diposisikan sebagai orang yang nggak paham membaca sikap Dudi, orang yang ke ge-eran, orang yang justru mencoba menarik perhatian Dudi dan bukan sebaliknya.

OMG, benarkah saya ke GR-an? Lalu kenapa Kate bisa merasakan kejanggalan sikap Dudi, begitupun Lala? Kenapa Kate bisa sampai ngamuk siang itu di kosannya karena sudah tidak tahan memendam benci? Kenapa Dudi bilang kangen ke saya dan tidak ke para sahabat Lala yang lain? Kenapa dia menyebut saya 'sayang', 'puteri' dan kenapa dia pernah bilang ke saya bahwa suara saya adalah jenis suara yang ideal di telinga dia dan dia harapkan kalau punya pacar ya yang punya suara seperti suara saya. Kenapa dia bisa membaca ekspresi saya, cara saya duduk, saat saya melamun dan bagaimana dia bisa berkata 'aku tahu kamu punya banyak masalah, sini-sini... datanglah...bagilah ke aku...'
Dan bahkan sampai-sampai ayah saya juga pernah mengira kalau Dudi itu pacar saya, dan -untungnya- tanpa pernah bicara banyak dengan Dudi ayah saya menilai bahwa Dudi bukan tipe yang baik.

Mana buktinya kalau Dudi yang merayu saya dan bukan sebaliknya?
Saya sudah tidak tahu kemana Simcard itu.
Jadi siang itu untuk pertama kalinya saya melihat makhluk paling munafik meneriaki saya, menggebrak meja di depan muka saya, menatap saya dengan jijik dan penuh kemunafikan, menyimpulkan saya adalah perempuan kesepian yang mencoba merayu pacar sahabatnya. Saya tak bisa membuktikan apapun, dan yang membuat lebih buruk adalah kenyataan bahwa Kate dan Vie cuma terdiam menonton saya, Lala dan Dudi saling berteriak. Mereka berdiam diri melihat saya dipecundangi, diperlakukan bak pelacur yang ketangkap basah oleh Satpol PP.

Setelah menit-menit panjang mengerikan dan penuh emosi, saya hanya bisa mengatakan kalimat akhir sekaligus penutup; 'Dudi, elo boleh menyangkal ini semua, tapi hati lo yang paling dalam tahu apa yang terjadi sesungguhnya. Hati lo yang paling dalam tahu betul, dan nggak akan pernah bisa bohong. Ingat itu, Dudi.'

Ya Tuhan.... syukur saya nggak jatuh cinta pada Dudi.
Syukurlah saya nggak pernah suka sama dia. Karena dia bukan jenis pria yang bisa menjadi suami. Okelah dia bergelar Sarjana Ekonomi, tapi 'kan untuk menjadi suami bukan sekedar dibutuhkan titel, tapi loyalitas, dedikasi, kebesaran hati, ke ksatriaan jiwa yang mau mengakui kesalahan dan minta maaf atas kesalahan yang diperbuatnya. Dan yang terpenting; kejujuran.

Itu pengalaman besar saya tentang salah membaca orang; Dudi itu rajin shalat, mudah bergaul, bertampang lumayan, tinggi berkisar 175 cm, dan sangat menyayangi ibunya yang sudah menjanda, punya tatapan yang membuat siapapun iba pada saat dia sedang berduka.
Seperti saya salah membaca Rosa yang saya pikir nggak akan berbuat selayaknya bitch, tahunya dia mencium pacar saya dibelakang punggung saya; dia lembut, putih, pendek, kecil, sedikit gemuk, terlihat lemah, berjilbab, alim.

Lhaaaa..... 'kan bukan itu inti postingan ini. Intinya adalah bahwa saya akhirnya nggak punya sahabat. Seusai tragedi Dudi menyangkal, Kate dan Vie cuma berdiam diri, Lala nggak percaya sama saya, saya menarik diri dari pergaulan kampus.
Dan ketika akhirnya saya menemukan kembali Simcard berisi bukti kebejatan Dudi, saya bicara pada Kate dan Vie bahwa saya akan menunjukkan bukti-bukti itu pada Lala supaya Lala mau percaya lagi sama saya, supaya nama saya kembali bersih. Tapi Kate malah bilang; 'udahlah... lupain aja, kasihan Lala'. Saya terhenyak, mereka kasihan pada Lala kalau kita tunjukkan bukti itu. Tapi kenapa nggak kasihan pada saya yang harus diposisikan sebagai orang tercela selamanya??

Itu hari terakhir saya bicara panjang pada Kate dan Vie.
Sisa hari-hari saya menjalani kuliah di kampus tercinta, setiap bertemu dan memang harus selalu bertemu mereka, yang saya keluarkan hanya sapaan 'hai', kadang hanya senyuman sekilas, atau menjawab kalau mereka bertanya.

Hingga kini saya belum punya sahabat. Dan merasa nyaman dengan itu.
Saat saya menghadapi masalah yang tak bisa dibagi dengan teman bergaul, saudara atau anggota keluarga lain jadilah saya menghadapi masalah itu sendirian, saya berdebat dengan diri saya sendiri, lalu menimbang-nimbang dan berdiskusi dengan diri saya sendiri. Terkadang saya membuat diagram SWOT untuk menganalisa masalah itu. Akhirnya menemukan jawaban atas permasalahan-permasalahan saya.

Saya memang beredar di masyarakat, bergaul, ngobrol, nongkrong di SenCi, FX, atau tempat gaul lainnya. Saya mendengarkan orang yang curhat dan memberi masukan. Tapi saya tak membiarkan mereka masuk lebih dalam ke hidup saya. Saya tak ingin direpotkan lagi. Di hidup saya, setiap makhluk yang mampu menembus barigade saya, dan akhirnya masuk lebih dalam, lalu menyandang status sebagai 'orang-orang terdekat', yang saya rasakan kemudian hanya membawa kepelikan, masalah, sakit, dan tekanan.

Mau sampai kapan saya begini? Saat ini saya belum mau merubahnya, saya adalah seorang ibu, dan wanita dengan long distance relationship yang pelik sehingga bisa dikatakan saya single parent, saya hadapi masalah anak dan rumah sendirian, saya punya keluarga besar yang point of view-nya bertentangan dengan saya dan cukup memusingkan, saya punya perusahaan yang sedang merangkak dan prestasinya terus menanjak, saya sedang mengejar satu bisnis lagi yang merupakan obsesi, dan September nanti saya akan kembali jadi mahasiswa. Well... lihat 'kan? Saya sudah punya banyak urusan untuk diurus, mohon maaf tidak dibuka lowongan 'Sahabat' untuk mengirimi saya seabrek masalah lain saat ini. Entah suatu hari nanti.

Bagaimana dengan sahabatmu, teman? Sempurna ya?
Good luck
dengan sahabatmu! Wish you are forever soulmate.

Senin, 17 Mei 2010

Good side of 'Kepepet'


Penyakit sulit tidur saya mendadak kambuh malam ini, padahal badan capek karena setengah harian jalan-jalan sama si kecil, ke Al-Azhar, dilanjutkan acara puter-puter di Senayan City. Tapi sedang lelah begini itu penyakit justru kambuh, bikin keki....
Curhat ke teman-teman, suggest-nya; 'coba minum teh manis panas', 'itu mau flu kali.. minum obat flu aja gih!', 'baca do'a-do'a biar tenang hatinya', 'minum susu anget-anget kuku.'
Saya cobain tuh....
Minum teh panas, nggak mempan.
Minum obat flu, teteeeeuuppp..... belum ngantuk
Baca do'a-doa... yah... malah makin semangat, bikin inget obsesi dan mimpi yang belum kesampaian.
terakhir minum susu anget kuku... jadi total dua gelas minuman panas saya tenggak.. kembung adanya!

Saya jadi ingat obrolan dengan Pak supir taxi di perjalanan pulang dari SenCi tadi sore. Si Pak Supir bawa itu taxi agak kelewat ngebut dan temperamen (lagi datang bulan kali ya?) dia kesal setiap ada insiden yang membuat mobil berpepetan dengan taxi, bahkan sepasang ibu yang melintas di depannya saat dia asoy geboy juga membuatnya kesal dan mengeluh. Kontras dengan keramahan dia sewaktu security SenCi membukakan pintu taxi untuk saya, dan dia menyambut dengan suka cita; "Selamat Sore ibu, sudah nyaman duduknya? Mau ke mana?"
Itu membuat saya bertanya; "sudah berapa lama bawa Taxi, pak?"
"Totalnya hampir 1 tahun, bu." Bikin saya berpikir kenapa SOP perusahaan-perusahaan jasa tidak membuat kebijakan; panggil lah klien dengan sebutan 'ibu' kalau dia perempuan 30-an, dan panggil klien dengan sebutan 'mbak' kalau dia dibawah 30 meskipun dia menggandeng balita.
"1 Tahun ya? Oh... Lumayan ya..." komen saya, basa-basi.
"Tapi sebelumnya di perusahaan Taxi yang lain," sambung dia, saya mengangguk saja.
"Berarti baru di perusahaan taxi yang ini?" tanya saya iseng.
"Begitulah.... Bukan cita-cita."
"Maksudnya?" kejar saya, kali ini benar antusias.
"Siapa sih bu yang bercita-cita jadi supir taxi? Ini kan pekerjaan kepepet aja.... Karena sulit cari pekerjaan lain."

Hmm... Pekerjaan kepepet katanya.
Saya prihatin kepada orang-orang yang sedag 'kepepet', selaluu... saja begitu, dan otomatis saya prihatin pada Pak supir taxi itu. Tapi kali ini hati saya berbisik, untung saja ada banyak orang yang kepepet dan akhirnya jadi supir taxi. Coba kalau nggak ada yang mau, atau sedikit sekali yang mau. Barangkali saya di SenCi tadi harus menunggu berjam-jam untuk bisa meletakkan pantat saya dan si kecil di jok taxi yang empuk dan adem, atau mungkin harus adu cepat dengan calon penumpang lain.
Saya jadi ingat, sewaktu berangkat menuju Al-Azhar, dalam rangka bertemu seorang pengusaha percetakan kawakan yang mengundang saya makan siang -dan untungnya tak keberatan saya membawa si kecil- awalnya saya dan si kecil naik metro mini. Saya jenis orang yang tak masalah naik angkot kalau kendaraan di rumah nggak ada yang nganggur dan naik taxi kalau kepepet saja. Sayangnya itu metro mini jalan lelet... bangedh!! Ngetem melulu lah.. padahal saya sudah hampir terlambat menemui Pak Pengusaha itu. Wajar dong ya itu metro mini ngetem melulu, dia 'kan cari penumpang, harus kejar setoran, karena memaklumi hal itu maka saya bergegas menggendong si kecil dan cabut, turun dan menyetop taxi pertama yang melintas. Situasinya tentu kontras; empuk, adem, dan cepat. Saya tiba di depan Pak Pengusaha dengan tepat waktu, dan segar (sempat touch up kilat sebelum turun dari taxi).

Coba bayangkan kalau tidak ada orang-orang yang merasa 'kepepet' seperti Pak Supir taxi yang saya tumpangi dari SenCi itu. Sewaktu saya memburu waktu, pasti pilihan terbaik adalah ojek. Kan nggak mungkin dong kalau saya mau ketemu pengusaha kawakan atau pejabat terus naik ojek yang saya pesani; 'ngebut ya bang!' set dah..... kayak apa rupa saya begitu tiba dihadapan beliau?
Saya teringat sewaktu saya aktif bekerja di perusahaan finansial di salah satu gedung yang saya excited banget bisa ngantor di gedung itu, hampir tiap hari saya harus presentasi di tempat klien, dan kalau mobil kantor sedang keluar semua, saya harus naik taxi. Kebayang 'kan gimana jadinya kalau Taxi itu cuma sedikit? Kan nggak lucu saya harus ngebut ke kantor klien numpak ojek....

Jadi, jangan deh rendah diri dengan apa yang ada di diri kita sekarang ini. Apapun itu pasti ada gunanya buat orang lain 'kan atau paling tidak untuk diri kita pribadi. Ya mungkin ada sisi buruknya, tapi pasti ada baiknya. Bahkan di kegelapan ada remang cahaya (contoh: pas mati lampu 'kan gelap tuh, orang-orang pasti nyalain lilin) hahaha...... Ngaco ya?

Ditulis semalam,
Dientri siang ini.



Sabtu, 15 Mei 2010

UNIVERSITAS; Negeri atau Swasta Sama Saja

Deeeeuuhh.... yang lagi mellow, termenung depan komputer dengan mata berkaca-kaca, gara-gara nggak diterima UI, didepak UGM, ditolak Undip, dilepeh UNSoed, ditendang ITB? Ya sudahlah.... Ngapain sih sedih gitu?? Apalagi pake acara mau bunuh diri segala. Haduuuuh.... Sayang-sayang dong... belasan tahun jungkat-jungkit shalat, bolak-balik ke gereja, sibuk ngepelin Wihara, Pura atau klenteng, kalau akhirnya bunuh diri. Nih, baca dulu ulasan saya mengenai Universitas Swasta.

Ada juga teman-teman (atau adik-adik ya? Secara saya 'kan udah tuwir dibanding lulusan SMA) yang senang tapi sedih (hngg.. gimana tuh?), gara-gara diterima Universitas Negeri impian tapi ternyata uang masuknya mahal banget?? Yah.... Inilah salah satu resiko hidup di negara Republik kita. Saya tahu kok... sepupu saya yang ganteng tahun ini lulus SMA dan diterima UI, uang pangkalnya 13 juta, harus dibayar selambatnya Agustus 2010. Mahal ya? Itu yang kelas reguler lho... Dan saya juga diterima Universitas Indonesia untuk S2 Teknik Sipil, uang DP-nya 16 juta dan cuma dikasih waktu 1 bulan untuk membayarnya (dikira saya juragan jengkol apa?)

Gini deh.... coba buka hati, mata, pikiran untuk melirik Universitas Swasta yang bagus dan bermutu. Sebab.....
  1. Lihat di brosur atau situs mereka, biasanya Universitas Swasta majang nama-nama dosen pengajar mereka. Dosen mereka bergelar M.Sc, P.hd kok!!! Salah satu Universitas Swasta bagus yang saya kenal (ralat: tempat saya dapat gelar S1) malah mencantumkan pula dari mana dosen-dosen tersebut mendapat gelarnya; dari ITB, UI, UGM, tapi kebanyakan dari Universitas luar negeri (Leiden, Manchester, Liverpool, lha.... ini kayak bundes liga jadinya). Jadi buat apa minder kuliah di swasta?? Orang yang ngajar aja master-master dan doktor lulusan luar negeri! Pasti bahan yang mereka ajarkan adalah ilmu yang mereka peroleh dari Universitas keren beken itu kan?? Hayo... kenapa minder??
  2. Lihat Akreditasi Universitas Swasta itu, untuk info kalian ya... Setiap 4 tahun sekali, setiap jurusan di Universitas harus di akreditasi ulang. Untuk mendapat Nilai akreditasi A itu suessssssaaaaahhhhh dan kuetaaaaat buanget! Percaya deh... Karena semasa saya kuliah saya pernah direkrut Ketua Program Studi (Kaprodi) saya untuk mengurusi borang akreditas ulang jurusan Teknik Sipil. Jadi teman-teman silakan mendaftar di Jurusan impian kalian di Universitas Swasta, tak apa... jangan minder. Carilah yang mendapat akreditasi B, sukur-sukur kalau A, itu berarti sekelas dengan Jurusan di Universitas Negeri yang sudah menolak mentah-mentah kalian.
  3. Dosen Swasta cenderung mengajar seolah mereka menghadapi anak SMP/SMA (terutama dosen Teknik dan MIPA). Itu dikarenakan mereka berpikir bahwa mereka sedang menghadapi 'anak-anak buangan', jadi dosen selalu mengajar detail, step by step dengan rinci. Bahkan ada dosen yang nyuruh maju tiap mahasiswa di kelas, dan mengajarinya di papan tulis dengan telaten. Nggak percaya? Ya terserah....
  4. Lihat lagi di brosur atau situs Universitas swasta inceran kamu, biasanya mereka memajang alumni yang sudah sukses. Alumni di Universitas saya ada yang menduduki jabatan strategis di Garuda, dan di beberapa perusahaan besar yang penting di negeri ini. Banyak juga yang bisa masuk Departemen teman bapak saya kerja, yang seleksinya rumit dan ketat sekali. Sukses itu hak tiap orang yang mau meraihnya. Bukan sekedar hak alumni Universitas negeri. Percaya deh kali ini sama saya!
  5. Salah satu Manajer Proyek perusahaan kontraktor terkenal di Indonesia berkata bahwa dia lebih suka ambil insinyur-insinyur dari Universitas tempat saya kuliah S1 (swasta), karena bisa kerja tapi nggak sombong, down to earth dan selalu mengira dirinya kurang pintar sehingga selalu mau belajar sendiri atau menuntut ilmu dari atasannya di kantor dan bertindak hati-hati. Sementara alumni Universitas Negeri yang beliau rekrut cenderung merasa sudah pintar dan akhirnya sempat melakukan kecerobohan fatal di proyek. Kenapa begitu? Mahasiswa baru lulus memang tahu banyak teori, tapi awam tentang praktek kerja di lapangan, sehingga kalau baru terjun ke dunia kerja tapi merasa pintar ya wajar kalau sempat bikin kesalahan. Jadi, tenang saja... fresh graduate nantinya di kantor/dunia kerja tetap ditempa dan harus banyak belajar lagi. Jangan takut bersaing dengan lulusan Universitas Negeri.
  6. Universitas swasta yang bagus ada yang lebih murah dari Universitas Negeri. Tapi jangan dikira kwalitas mereka murahan, coba periksa sejarahnya, siapa yang mengajar, atau bahkan siapa yang memiliki Yayasan dari Universitas tersebut.
  7. Di Universitas swasta juga banyak beasiswa kok.... Selama saya kuliah S1 saya cuma bayar Uang Pangkal, selanjutnya saya terus dibiayai beasiswa-beasiswa bertubi-tubi; Beasiswa mahasiswa teknik dari Bank Dunia (TPSDP namanya, apa kepanjangannya? Jangan tanya saya 'gak tahu... yang saya tahu duitnya doang), beasiswa Damandiri (dari Yayasan Alm. Pak Soeharto), Beasiswa Bakat dan Minat (dari Universitas karena prestasi yang diraih di tingkat Nasional). Dan masih banyak lagi jenis beasiswa yang saya nggak dapet (hihi..maruk amat sih pengen dapet semua!), tapi teman-teman saya dapat. Untungnya di kampus saya dulu ada pejabat yang mengurusi masalah beasiswa, jadi tiap ada pembukaan beasiswa beliau akan menyebar pengumuman, mahasiswa yang merasa dirinya memenuhi kualifikasi tinggal menemui beliau saja di kantor rektorat. Isi formulir 'dikit, selesai deh urusan. Nggak repot mondar-mandir ke sana-sini eh tahu-tahu di papan pengumuman muncul nama kita-kita, tinggal ambil duit di kantor beliau. Beresss.... asik....
  8. Sebaiknya banyak tanya dan cari informasi mengenai Universitas Swasta yang kalian incar, salah satu Universitas Swasta terkenal, prestisius dan mahal di negeri ini ternyata punya sejarah jelek; membangun gedung dengan cara hutang, hutangnya menimbun sehingga mereka menarik bayaran mahal dari Mahasiswa tapi kwalitas pengajaran tidak diperhatikan. Tetangga saya kuliah 8 tahun di sana tapi tidak di DO, dan tetangga saya yang lain tadinya staff laboratorium di Universitas tersebut tapi kemudian keluar karena salary-nya sangat tidak layak.
  9. Well.... saya tidak mau menyebut nama Universitas swasta yang saya maksud di point no. 8, seperti saya tidak memberitahu nama Universitas swasta tempat saya meraih gelar S1, yang alumni-alumninya banyak menjadi Direktur dan CEO perusahaan besar, yang pengajarnya dari Inggris, Belanda, UI dan ITB (hehe...) , yang menimbuni saya dengan beasiswa dan yang mengantar saya meraih Juara 1 Lomba Karya Tulis Ilmiah Terkait Konstruksi di Departemen Pekerjaan Umum pada Tahun 2007. Adil 'kan? Ini 'kan bukan ajang promosi Universitas Swasta, dan saya nggak dibayar oleh salah satu Universitas itu untuk menulis artikel ini (hehe...)
Jadi, kalau ada Universitas Swasta dengan dosen pengajar para master dan doktor lulusan dari luar negeri dan dari Universitas Negeri yang telah menolak kamu, dan bahwa jurusan di Universitas swasta tersebut ter-akreditasi dengan nilai bagus, kenapa kamu nggak mendaftar di sana??

Ingat, Universitas tersebut sudah memodali kamu dengan pengajar berkualitas, sarana lengkap, dan biaya terjangkau. Apakah kamu nanti akan sukses atau tidak tergantung dari cara kamu belajar selama menuntut ilmu di Universitas itu. Bukan dari nama Universitas atau warna jas almamater kamu.



Ayo bangkit! Semangat lagi dong....
Buruan Daftar!!!!!!!

Senin, 03 Mei 2010

Hari-Hari Tanpa Babysitter

3 hari lalu pengasuh anak saya memutuskan resign (deuh... resign? terus apaan dong?). Padahal dia sudah kerja di rumah ini sejak 2003 (atau 2004? saya agak lupa). Awalnya dia bukan pengasuh anak, melainkan asisten rumah tangga (bahasa kininya) alias pembantu rumah tangga (bahasa jadulnya). Karena dia begitu loyal, dan dia punya satu orang anak di kampungnya sehingga saya pikir dia punya pengalaman mengurus bayi, jadi sewaktu bayi saya lahir dan saya harus kembali beraktivitas, dia naik pangkat jadi pengasuh anak dan kami cari satu orang lagi untuk mengerjakan pekerjaan rumah.

Tepat seperti yang saya duga, dia mengasuh bayi saya seperti dia mengasuh anaknya sendiri. Walau di bulan-bulan awal saya sempat keki, pasalnya setiap saya datang ke rumah tiap malam (sekitar pukul 10 atau 11 malam), saya dapati dia tidur lelap ternganga-nganga, bayi saya juga, tapi dengan celana basah kuyup. Jadilah setiap pulang kerja yang pertama-tama saya lakukan adalah mengganti popok bayi yang basah kuyup. Kalian pasti heran kenapa saya nggak pakai pampers saja? Nanti saya posting khusus mengenai masalah pampers dan disiplin. Selain masalah popok basah disetiap saya pulang kerja, semuanya saya nilai 'perfect'. Cara dia menggendong, menimang, memandangi, menciumi si baby, persis seperti seroang ibu yang girang pada buah hatinya.

Itu dulu, bertahun-tahun lalu, sejalan lewatnya masa (puitis banget yak??), sekarang si kecil itu sudah berusia 2,5 tahun, mulai rewel mengenai makanan dan susu, mengenai susu dia memang nggak bisa pilih-pilih merk susu sembarangan sebab dia alergi protein hewan. Badannya jadi makin kurus, saya tak komentar tapi saya usahakan berbagai cara seperti merutinkan lagi acara minum Vitamin minyak ikan yang mengandung penambah nafsu makannya, juga ditambah acara pesan jamu cekokan (tahu kan? Itu lho jeng... jenis jamu untuk penambah nafsu makan yang pahitnya amit-amit..) rutin dari si mbok penjual jamu keliling. Sempat naik sedikit berat badannya, tapi belakangan ini makin kurus aja lagiiii....

Tapi kurusnya sekarang nggak bisa ditolerir lagi deh! Si jagoan yang sejak lahir gagah banget mirip aktor jaman dulu Robby Sugara, yang tiap kali orang melihatnya selalu berdecak kagum 'gagah bener nih anak ya!' atau 'wuah nantinya pasti badannya gede nih', sekarang tinggal tulang terbalut kulit, ditambah kulitnya makin gelap karena kebanyakan main di luar sepanjang siang. bayangin deh... si babysitter itu dan baby saya sepanjang siang pasti nongkrong di halaman rumah tetangga saya, masuk ke rumah kalau mau ambil susu atau pas adzan Dzuhur berkumandang pertanda waktu bobo siang si baby. Lha tentu saja makin hitam tuh anak... Ampun... jadinya nggak pantes anak saya deh tu.... Item banget, kurus banget.

Akhirnya saya kesal, momen jarang terjadi, saya komentari pekerjaannya dia, akhirnya terjadi lagi. Plus dua hari berturut-turut saya suapi si kecil makan siangnya supaya dia makan lebih banyak. Mungkin si babysitter tersinggung karena saya ambil alih pekerjaannya dan atau karena komentar/teguran saya. Padahal selama ini saya tipe majikan yang sama sekali nggak rewel, no comment, dan kalau perlu menegur saya lakukan dengan ringan saja. Tujuannya supaya dia betah kerjanya, nggak gerah karena punya majikan yang bossy. Saya bahkan biarkan dia menentukan menu makan si kecil, menu buah atau jajanannya selama itu nggak banyak MSG. Saya bebas saja dia mau mandikan si kecil jam berapa, setelah si kecil sarapan atau sesudahnya.

Lha kalau sesekali saya tegur ya wajar 'kan? Apalagi kalau jelas-jelas dia bukannya menunjukkan prestasi tapi malah melorot. Sekarang... mau kerja di rumah orang sebagai PRT atau mau kerja di sebuah perusahaan besar di Sudirman sebagai eksekutif muda, toh sama... pasti ada atasan yang meminta kita melakukan suatu tugas, si atasan itu memantau pekerjaan kita, kalau kita berprestasi pasti dipuji, kalau kita memble ya pasti ditegur. Ya 'kan??
Kalau nggak suka ditegur, dinasehati atau dikasih masukan ya jangan jadi kelas pekerja, jadilah owner perusahaan. Bahkan namanya pengusaha saja masih butuh menimba ilmu dari pengusaha senior, masih merasa perlu ditegur dan dinasehati.

Akhirnya si babysitter itu benar-benar mau berhenti bekerja, jadilah lepas Maghrib kami antar hingga dia naik bus menuju rumahnya. Untung si kecil nggak terlalu rewel seperti anak-anak lain yang ditinggal pengasuhnya, dan untungnya sejak novel The Ordinary Man diputuskan untuk dimatangkan dan saya berhenti dari pekerjaan yang dulu, hingga kini saya belum kembali bekerja di kantor. Dan ternyata... banyak sekali hal positif yang saya rasakan saat ini.

Si kecil memang akrab dengan saya sejak dulu, dan kini kami punya waktu buanyak sekali tanpa interupsi orang lain. Kami bersenang-senang, nyanyi lagu anak-anak keras sekali diiringi dia memukul drum band-nya, mengomentari film-film Disney sambil terbahak-bahak, membuat banyak busa saat dia mandi dan meniupnya kemana-mana. Saya juga jadi tahu persis apa saja yang masuk ke perutnya, dan itu semua makanan dan minuman yang seorang ibu yakini pasti sehat. Saya senang bisa mengambil alih kembali aktivitas mengurusi si kecil, dan saya yakin si kecil juga senang. Saya yakin dalam waktu sebentar saja kegagahan si kecil akan kembali. Just wait and see!